Latar Belakang, Perkembangan Filsafat Pendidikan,

BAB II PEMBAHASAN
A.      Manusia dan Filsafat
Manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Manusia adalah hewan yang berpolitik (zoo politicon, political animal), hewan yang berfamili dan bermasyarakat mempunyai kampung halaman dan negara.
Karena manusia itu memiliki akal pikiran yang senantiasa bergolak dan berfikir, dan karena situasi dan kondisi alam dimana dia hidup selalu berubah-ubah dan penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bahkan dahsyat, yang kadang-kadang dia tidak kuasa untuk menentang dan menolaknya, menyebabkan manusia itu tertegun, termenung, memikirkan segala hal yang terjadi disekitar dirinya. Dipandangnya tanah tempat dia berpijak, dilihatnya bahwa segala sesuatu tumbuh diatasnya, berkembang, berbuah, dan melimpah ruah. Segala peristiwa berlaku diatas permukaanya. Dan didalam siang dan malamnya dia menyaksikan kebaikan dan keburukan. Diarahkan pandnganya kelangit biru, maka nampak olehnya , benda-benda angkasa, mengambang dab bersemayam dilangit tinggi.. Hal-hal seperti itulah yang menakjubkan manusia, menyebabkan dia termenung, merenungka segala sesuatu. Dia berfikir dan berfiki, sepanjang masa dan sepanjang zaman. Dia memikirkan dirinya sebagai micro kosmos dan memikirka jagad raya sebagai macro kosmos. Dia memikirkan juga lam gaib, alam dibalik dunia yang nyata ini, alam metafisika. Dan diapun mulai membangun pemikiran filsafat.
Didalam sejarah umat manusia, setelah kemampuan intelektual dan kemakmuran manusia meningkat tinggi, maka tampilah manusia-manusia yang unggul merenung dan memikir, menganalisa, membahas dan menghapus berbagai problema dan permasalahan hidup dan kehidupan, sosial kemasyarakatan, alam semesta dan jagad raya. Maka lahirlah untuk pertama kalinya filsafat alam periode pertama, selanjutnya filsafat alam periode kedua, lalu Shopiesme, kemudian filsafat klasik yang bermula kurang lebih enam abad sebelum masehi.
B.     Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata philos yang berarti cinta atau suka, dan sophia berarti pengetahuan atau kebenaran. Maka philosophia adalah cinta pada pengetahuan / kebijakan / kebenaran. Sehingga kajian dari filsafat adalah alam pikiran atau alam berpikir untuk menggali kebenaran atau menggali hakekat sesuatu. Definisi yang lebih lengkap dari filsafat adalah ilmu tentang prinsip, ilmu yang mempelajari dengan mempertanyakan secara radikal segala ralitas melalui sebab-sebab terakhir, melalui asas-asasnya guna memperoleh pandangan (insight) yang tepat mengenai realitas (W. Poespoprodjo, 1999). Definisi lain menyatakan bahwa berfilsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan. Filsafat berusaha merenungkan dan membuat garis besar dari masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang pelik dari pengalaman umat manusia. Dengan kata lain filsafat sampai kepada merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok yang ditelaahnya (Uyoh Sadulloh, 2009).
Dari definisi-definisi di atas, dapatlah diterapkan kriteria-kriteria berikut terhadap berpikir secara filsafat:
1.      Menyeluruh
Kaitan komponen dalam suatu cabang ilmu, bahkan dengan pengetahuan lain, ditelaah secara mendalam, sehingga semakin mendalam dan meluas pemahaman seseorang terhadap suatu fenomena, maka semakin banyak pertanyaan memerlukan jawaban. Socrates berkata, “Yang saya tahu adalah bahwa saya tidak tahu apa-apa.”
2.      Fundamental
Berpikir filsafat adalah berpikir secara fundamental (mendasar) sampai ke akar permasalahan (radix). Proses ini mempertanyakan tentang mengapa ilmu disebut benar? Apa kriteria benar? Apakah kriteria itu sendiri benar? Lalu, benar sendiri apa? Socrates mengemukakan bahwa tugas filsafat bukanlah menjawab pertanyaan kita, namun mempersoalkan jawaban yang diberikan oleh kita.
3.      Spekulatif
Spekulatif menelusuri sebuah lingkaran harus dimulai dari sebuah titik, tetapi titik mana? Filsafat harus menentukan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak dapat diandalkan. Tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan. Jadi, filsafat adalah dasar dari semua pengetahuan yang mempersoalkan cara-cara mengetahui dan mengembangangkan pemikiran yang mencakup: apa yang diketahui (ontologi), bagaimana cara mengetahui (epistemologi), dan apa manfaat dari yang diketahui (aksiologi).
C.    Bidang Permasalahan Filsafat
Sidi Gazalba (1973) dalam Uyoh Sadulloh (2009) mengemukakan bidang permasalahan filsafat terdiri atas:
1.      Metafisika, dengan pokok-pokok masalah: filsafat hakikat atau ontologi, filsafat alam atau kosmologi, filsafat manusia, dan filsafat ketuhanan atau teodyce.
2.      Teori pengetahuan, yang mempersoalkan: hakikat pengetahuan, dari mana asal atau sumber pengetahuan, bagamana membentuk pengetahuan yang tepat dan yang benar, apa yang dikatakan pengetahuan yang benar, mungkinkah manusia mencapai pengetahuan yang bendar dan apakah dapat diketahui manusia, serta sampai di mana batas pengetahuan manusia.
3.       Filsafat nilai, yang membicarakan: hakikat nilai, di mana letak nilai, apakah pada bendanya, atau pada perbuatannya, atau pada manusia yang menilainya, mengapa terjadi perbedaan nilai antara seseorang dengan orang lain, siapakah yang menentukan nilai, mengapa perbedaan ruang dan waktu membawa perbedaan penilaian.
Selanjutnya Butler (1957) mengemukakan beberapa yang dibahas dalam filsafat, yaitu:
1.      Metafisika, membahas: teologi, kosmologi, dan antropologi.
2.      Epistemologi, membahas: hakikat pengetahuan, sumber pengetahuan, dan metode pengetahuan.
3.      Aksiologi, membahas: etika dan estetika.
Alat-alat yang digunakan dalam merumuskan dan mengklarifikasikan filsafat pendidikan, adalah berkaitan dengan lapangan filsafat yang menjadi perhatian sentral bagi guru: metafisika, epistemologi, aksiologi, etika, estetika, dan logika. Masing-masing dari bidang ini memfokuskan pada salah satu pertanyaan yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan Apakah hakekat dari realitas? Apakah hakekat dari pengetahuan dan apakah kebenaran dapat dicapai? Menurut nilai-nilai apakah seharusnya seseorang itu tinggal dalam kehidupan? Apakah yang baik dan apakah yang buruk? Apakah hakikat dari kecantikan dan pengalaman? Dan akhirnya apakah proses-proses nalar memberikan hasil-hasil yang valid secara konsisten?
D.    Makna Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungn sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.
E.     Pengertian Filsafat Pendidikan
Filsafat, selain memiliki lapangan tersendiri, ia memikirkan asumsi fundamental cabang-cabang pengetahuan lainnya. Apabila filsafat berpalilng perhatiannya pada sains, maka akanlahir filsafat sains. Apabila filsafat menguji konsep dasar hukum, maka akan lahir filsafat hukum. Dan, apabila filsafat berhadapan dan memikirkan pendidikan, maka akan lahirlah filsafat pendidikan.
Al-Syaibany (1979) dalam Uyoh Sadulloh (2009) menyatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan. Filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara praktis.
Filsafat pendidikan bersandarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat. Masalah-masalah pendidikan akan berkaitan dengan masalah-masalah filsafat umum, seperti:
a.       Hakikat kehidupan yang baik, karena pendidikan akan berusaha untuk mencapainya;
b.      Hakikat manusia, karena manusia merupakan makhluk yang menerima pendidikan;
c.       Hakikat masyarakat, karena pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial;
d.      Hakikat realitas akhir, karena semua pengetahuan akan berusaha untuk mencapainya.
Selanjutnya al-Syaibany (1979) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tugas yang diharapkan dilakukan oleh seorang filsuf pendidikan, di antaranya:
a.       Merancang dengan bijak dan arif untuk menjadikan proses dan usaha-usaha pendidikan pada suatu bangsa;
b.      Menyiapkan generasi muda dan warga negara umumnya agar beriman kepada Tuhan dengan segala aspeknya;
c.       Menunjukkan peranannya dalam mengubah masyarakat, dan mengubah cara-cara hidup mereka ke arah yang lebih baik;
d.      Mendidik akhlak, perasaan seni, dan keindahan pada masyarakat dan menumbuhkan pada diri mereka sikap menghormati kebenaran, dan cara-cara mencapai kebenaran tersebut.
F.     Hal-Hal Yang Mendorong Timbulnya Filsafat
Dalam bukunya “Alam Pikiran Yunani” Hatta (Tafsir,2002:13) menjelaskan bahwa hal yang mendorong timbulnya filsafat adalah dua hal. Pertama, dongeng dan takhayul yang dimiliki suatu masyarakat atau suatu bangsa. Kemudian ia kritis dan ingin mengetahui kebenaran dongeng tersebut lalu dari situ muncullah filsafat. Kedua, keindahan alam yang besar, terutama ketika malam hari. Hal tersebut menyebabkan keingintahuan orang-orang Yunani untuk mengetahui rahasia alam tersebut. Keinginan untuk mengetahui rahasia alam berupa pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya menimbulkan filsafat juga.
Sementara itu menurut Beerling (Tafsir, 2002: 13) orang-orang Yunani mula-mula berfilsafat dikarenakan ketakjuban. Ketakjuban mereka dalam menyaksikan keindahan alam ini menyebabkan mereka ingin mengetahui rahasia rahasia alam semesta ini. Plato mengatakan bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Sikap heran atau takjub tersebut melahirkan sikap bertanya, dan pertanyaan itu membutuhkan jawaban. Bila seorang pemikir menemukan jawaban, jawaban itu akan dipertanyakan kembali karena ia selalu sangsi pada kebenaran yang ditemukannya itu.Namun perlu dicatat bahwa pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat bukanlah pertanyaan sembarang. Pertanyaan-pertanyaan sedehana seperti “apa warna bungan mawar?”, tidak akan menimbulkan filsafat, hal itu cukup dijawab oleh mata kita. Begitupun pertanyaan seperti “kapan padi ini akan mulai dipanen?”, pertanyaan tersebut pun tidak akan menimbulkan filsafat, cukup dijawab dengan melakukan riset saja. Pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat adalah pertanyaan yang mendalam, yang bobotnya berat dan tidak terjawab oleh indera kita. Misalnya pertanyaan dari Thales, “Apa sebenarnya bahan alam semesta ini?”. Pertanyaan seperti inilah yang membuat indera kita tidak mampu menjawab bahkan sains pun terdiam. Dan jawaban terhadap pertanyaan Thales inipun memerlukan pemikiran yang mendalam. Sementara itu, pada jaman modern seperti sekarang ini yang menjadi penyebab timbulnya filsafat adalah karena adanya kesangsian. Apabila manusia menghadapi suatu pernyataan, mungkin ia akan percaya atau tidak percaya. Atau barangkali tidak kedua-duanya. Dengan demikian, sangsi menimbulkan pertanyaan dan pertanyaan menyebabkan pikiran bekerja. Pikiran bekerja menimbulkan filsafat.

G.    Faktor-Faktor Lahirnya Filsafat
Faktor-faktor yang menyebabkan lahirnya filsafat adalah sebagai berikut :
1.      Pertentangan Mitos dan Logos
Di kalangan masyarakat Yunani dikenal adanya Mitos dan logos. Mitos sebagai suatu keyakinan lama yang berkembang dengan pesat, seperti mite kosmologi yang melukiskan kejadian-kejadian alam. Mite-mite tersebut tersusun sedemikian rupa sehingga menjadi keyakinan yang mapan, walaupun diakui mite tersebut tidak rasional. Di dalam penyusunan mite peran penyair sangat penting seperti Hesiodes ( 50 SM ) dengan bukunya ” Theogonia ” ( kejadian alah-alah ), Orpheus dari kalangan Orfisme dan Pherekydes dari Syros.
Logos adalah suatu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu siap untuk berfikir yang bisa diartikan dengan akal. Di dalam kehidupan mereka sering sekali dipertentangkan antara mitos dan logos yang dimenangkan logos.
2.      Rasa Ingin Tahu
Adanya keinginan mempertentangkan antara mite dan logos disebabkan oleh rasa keingintahuan manusia tentang dunia yang dihadapinya. Mite-mite yang sifatnya tidak rasional memberikan ketidakpuasan manusia sehingga mendorong mereka mencari jawabannya pada logos. Jawaban-jawaban inilah yang kemudian disebut filsafat. Dalam kaitan ini Dick Hartoko mengatakan : filsafat berawal dari rasa heran dan kagum, hal-hal yang dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebelumnya luar biasa, kelahiran dan kematian, ada dan tidak ada susul menyusul. Manusia mencari prinsip umum yang mendasari keseluruhan sebagai suatu sistem atau struktur yang memberi arti kepada segala sesuatu.
3.      Rasa Kagum
Selain rasa ingin tahu dan pertentangan antar mitos dan logos, menurut Plato, filsafat juga lahir karena adanya kekaguman manusia tentang dunia dan lingkungannya. Rasa kagum mendorong manusia untuk memberikan jawaban-jawaban dalam bentuk praduga. Praduga ini kemudian dipikirkan oleh logos dalam bentuk rasionalisasi. Rasionalisasi ini merupakan awal lahir filsafat, misalnya para filsut Yunani yang kagum terhadap alam semesta, mencoba merumuskan asal muasal arche dari alam semesta tersebut sehingga muncullah aaneka teori diantaranya :
a.       Thales yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari air
b.      Anaximandros yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari apairon
c.       Anaximenes yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari udara
d.      Democrios yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari atom
e.       Empedocles yang mengatakan bahwa alam semesta berasal dari empat unsur yaitu api, tanah, air dan udara
4.      Perkembangan kesusastraan
Faktor lain yang juga penting adalah perkembangan kesusastraan. Kesusastraan Yunani mengandung ungkapan-ungkapan yang berisikan teka-teki, dongeng-dongeng dan ungkapan-ungkapan yang metaforis. Ungkapan-ungkapan tersebut diinterpretasikan oleh para pemikir Yunani seperti Homerus dalam karyanya Illusi dan Odyssea mempunyai kedudukan yang istimewa dalam perkembangan filsafat. Plato mengatakan bahwa Homerus sangat berperan penting dalam mendidik bangsa Hellas (Yunani). Lain halnya dengan K. Bertens, dia mengatakan bahwa karya Homerus seperti wayang dalam kebudayaan Jawa, karena berisikan pantun-pantun yang mempunyai nilai hiburan dan edukatif.
H.    Perkembangan Pemikiran Filsafat Spiritualisme Kuno
Jika kita memperhatikan pemikiran orang barat yang membahas filsafat mereka sama sekali lepas dari apa yang dikatakan agama. Bagi mereka titik berat filsafat adalah mencari hikmah. Baik filosofis Timur maupun barat mereka memiliki pandangan yang sama bila sudah sampai pada pertanyaanya “ bilakah permulaan yang ada ini, dan apakah yang sesuatu yang pertama kali terjadi, apakah yang terakhir sekali bertahan didalam ini” (Rifai, 1994: 67). Akan tetapi mereka akan berusaha untuk mencari hikmah yang sebenarnya supaya sampai puncak pengetahuan yang tinggi, yaitu Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa
1.      Filsafat Barat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kirakira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
2.      Timur jauh
Yang termasuk dalam wilayah timur jauh ialah Cina, India dan jepang. Di India berkembang filsafat spiritualisme, Hinduisme, dan Buddhisme. Sedangkan di Jepang berkembang shintoisme. Begitu juga di Cina berkembang, Taoisme, dan Komfusianisme ( Gazalba, 1986:60 )
a.       Hinduisme 
Pemikiran spiritualisme Hindu adalah konsep karma yang berarti setiap individu telah dilahirkan kembali secara berulang dalam bentuk manusia atau binatang sehingga ia menjadi suci dan sempurna sebagai bagian dari jiwa universal (reingkarnasi). Poedjawijatna (1986:54) mengatakan, bahwa para filosof Hindu berpikir untuk mencari jalan lepas dari ikatan duniawi agar bisa masuk dalam kebebasan yang menurut mereka sempurna.
b.      Buddha 
Pencetus ajaran Buddha ialah Sidarta Gautama ( Kira-kira 563-483 SM ) sebagai akibat ketidakpuasannya terhadap penjelasan para guru Hinduisme tentang kejahatan yang sering menimpa manusia. Filsafat Buddha berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di Dunia ini terliputi oleh sengsara yang disebabakan oleh “Cinta” terhadap suatu yang berlebihan.
c.       Taoisme
Pendiri Taoisme adalah Leo Tse, Lahir pada tahun 604 SM. Tulisannya yang mengandung makna Filsafat adalah jalan tuhan atau sabda tuhan, Tao ada dimana-mana tetapi tidak berbentuk dan tida pula diraba, dilihat, dan di dengar. Manusia harus hidup selaras dengan tao, dan harus bisa menahan hawa nafsunya sendidi. Pengertian Tao dalam filsafat Lao Tse tersebut dapat dimasukan dalam aliran spiritualisme.
d.      Shinto
Shinto merupakan salah satu kepercayaan yang banyak dipeluk masyarakat Jepang. Agama Shinto tumbuh di jepang yang sangat respek terhadap alam di sebabkan ajaran-ajaranya mengadung nilai antara lanin kreasi ( SOZO), generasi ( size), pembangunan (hatten), sehingga ia menjadi jalan hidup dan kehidupan dan mengandung nilai optimis
3.      Timur Tengah
a.       Yahudi
Pemikiran-pemikiran fisafat timur tengah muncul sekitar 1000-150 SM. Tanda-tanda adanya pemikiran filsafat itu ialah adanya penguraian tentang bentuk-bentuk penindasan moral dari monotiesme, peredaran, kebenaran dan bernilai tinggi. Selama dua ribu tahun yang lalu dokrtin-doktrin monotiesme dan pengajaran tentang etnis yang di anggap penting dari kaum Yahudi, yang di kembangkan oleh Nabi musa dan para Nabi Elijah. Pendidikan di mulai guna mengangkat martabat dan pengharapan kemanusiaan pada masa depan ( Smith, 1986:4) 
b.      Kristen
pengikut agama Kristen pada waktu itu tidak ubahnya seperti penganut agama lainnya, yaitu dari golongan rakyat jelata. Setelah berkembang, pengikutnya merabah kekalangan atas, ahli fikir ( filosof ), dan kemudian para pemikir atas kemajuannya, zaman ini disebut zaman patristic. Zaman patristik adalah zaman rasul ( pada abad pertama ), sampai abad kedelapan. Para filosofis Kristen pada masa itu mempunyai identitas yang berpariasi dan mempunyai banyak aliran.
c.       Romawi dan Yunani : Antromornisme 
Antromornisme merupakan suatu paham yang menyamakan sifat-sipat Tuhan ( pencipta ) dengan sifat-sifat manusia ( yang di ciptakan ). Misalnya tentang tuhan di samakan dengan tangan manusia. Paham ini muncul pada zaman patristic dan skolastik, pada akhir zaman kuno atau zaman pertengahan filsafat barat di pengaruhi oleh pemikiran Kristian. Aliran-aliran filsafat yang mempunyai pengaruh sangat besar di roma adalah, pertama, epistimologi, yang di motori oleh epicurus ( 341-270 ). Epicurus mengatakan bahwa rasa suka dimiliki apabila hidup secara relevan dengan alam manusia. Sementara rasa duka merupakan yang terburuk dan patut di hindari. Kedua, aliran stoa, yang dipelopori oleh zani (336-246 ) berpendapat bahwa adanya kebajikan itu apa bila manusia hidup sesuai dengan alam (Poedjawi jatna, 1986:22)’. Dalam sejarah, filsafat Yunani dipakai sebagai penangkal sejarah filsafat barat. Dikatakan pangkal karena dunia barat dalam alam pemikiran mereka berpangkal pada pemikiran Yunani. Di Yunani sejak sebelum permualaan tahun masehi, ahli-ahli pikir mecoba menarik teka-teki alam, mereka ingin mengetahui asal mula alam serta dengan isinya. Pada masa itu terdapat keterangan-keterangan mengenai proses terjadinya alam semesta dan isinya, semua keterangan tersebut sebatas kepercayaan semata Pentingnya Filsafat Pendidikan
Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, di mana pendidikan merupakan salah satu aspek dari kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan membutuhkan filsafat. Mengapa pendidikan membutuhkan filsafat? Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan yang faktual, tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupn sebagai pelaksana pendidikan, perlu mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan karena tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan kehidupan individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dimengerti sepenuhnya tanpa mengetahui tujuan akhirnya. Tujuan akhir pendidikan perlu dipahami dalam kerangka hubungannya dengan tujuan hidup tersebut, baik tujuan individu maupun tujuan kelompok. Guru sebagai pribadi, memiliki tujuan dan pandangan hidupnya. Guru sebagai warga masyarakat atau warga negara memiliki tujuan hidup bersama.
Hubungan filsafat dengan pendidikan dapat kita ketahui, bahwa filsafat akan menelaah suatu realitas dengan lebih luas, sesuai dengan ciri berpikir filsafat, yaitu radikal, sistematis, dan universal. Konsep tentang dunia dan pandangan tentang tujuan hidup tersebut akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan.
Filsafat pendidikan harus dapat menjawab empat pertanyaan pendidikan secara menyeluruh, yaitu:
1.      Apakah pendidikan itu?
2.      Mengapa manusia harus melaksanakan pendidikan?
3.      Apakah yang seharusnya dicapai oleh pendidikan?
4.      Dengan cara bagaimana cita-cita pendidikan yang tersurat maupun yang tersirat dapat dicapai?
Filsafat pendidikan harus mampu memberikan pedoman kepada para perencana pendidikan, dan orang-orang yang bekerja dalam bidang pendidikan. Hal tersebut akan mewarnai perbuatan mereka secara arif dan bijak, menghubungkan usaha-usaha pendidikannya dengan falsafah umum, falsafah bangsa dan negaranya. Pemahaman akan filsafat pendidikan akan menjauhkan mereka dari perbuatan meraba-raba, mencoba-coba tanpa rencana dalam menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Filsafat pendidikan juga secara vital berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan pada banyak permasalahan pendidikan. Lima tujuan filsafat pendidikan dapat mengklarifikasi bagaimana dapat berkontribusi pada pemecahan-pemecahan tersebut:
1.      Filsafat pendidikan terkait dengan peletakan suatu perencanaan, apa yang dianggap sebagai pendidikan terbaik secara mutlak.
2.      Filsafat pendidikan berusaha memberikan arah dengan merujuk pada macam pendidikan yang terbaik dalam suatu konteks politik, sosial, dan ekonomi.
3.      Filsafat pendidikan dipenuhi dengankoreksi pelanggaran-pelanggaran prinsip dan kebijakan pendidikan.
4.      Filsafat pendidikan memusatkan perhatian pada isu-isu dalam kebijakan dan praktek pendidikan yang mensyaratkan resolusi, baik dengan penelitian empiris ataupun pemeriksaan ulang rasional.
5.      Filsafat pendidikan melaksanakan suatu inkuiri dalam keseluruhan urusan pendidikan dengan suatu pandangan terhadap penilaian, pembenaran, dan pembaharuan sekumpulan pengalaman yang penting untuk pembelajaran.
Terdapat suatu hubungan yang kuat antara perilaku seorang guru dengan keyakinannya mengenai pengajaran danpembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang bermanfaat untuk diketahui. Terlepas di mana seseorang berdiri berkenaan dengan kelima dimensi pengajaran tersebut, guru harus tahu perlunya merefleksikan secara berkelanjutan pada apa yang ia sangat yakini dan kenapa ia meyakininya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa peranan guru yang strategis, karena di tangannya terletak nasib generasi penerus, mengharuskan para guru memahami hakikat nilai, etika, estetika, sains, teologi, alam (kosmos), pendidikan, dan hakikat anak didik. Pemahaman terhadap lapangan filsafat memberikan panduan dan dapat menumbuhkan keyakinan terhadap misi pendidikan yang diembannya sehingga tercipta perilaku mengajar yang lebih bermakna dan lebih bermanfaat bagi peserta didik.
I.       Pemikiran Filsafat Yunani Kuno Hingga Abad Pertengahan 

1.     Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Thales (624 – 546 Sm)
Orang Miletus digelari “Bapak Filsafat” karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat. Gelar itu diberikan karena ia mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar yang jarang diperhatikan orang zaman sekarang “What is the nature of the world stuff?” apa sebenarnya bahan alam semesta ini? Ia sendiri menjawab air. Thales mengambil air sebagai asal alam semesta karena ia melihtanya sebagai sesuatu yang sangat diperlukan dalam kehidupan, dan dia juga berpendapat bahwa bumi ini terapung di atas air. Pertanyaan itu dijawabnya dengan menggunakan akal bukan menggunakan agama atau kepercayaan lainnya. Alasannya karena air penting bagi kehidupan dan dari sinilah akal mulai digunakan lepas dari keyakinan.
2.      Pemikiran Filsafat Pendidikan Menurut Socrates ( 470-399 Sm )
Dalam sejarah filsafat, Socrates adalah salah seorang pemikir besar kuno yang gagasan filosofis dan metode pengajaraanya sangat mempengaruhi teori dan praktik pendidikan di seluruh dunia barat. Socrates lahir di Athena, merupakan putra seorang pemahat dan seorang bidan yang tidak begitu di kenal, yaitu Sophonicus dan Phaenarete ( smith,1986:19 ). Prinsip dasar pendidikan, menurut Socrates adalah metode dialektis. Meode ini di gunakan Socrates sebagai dasar teknis pendidikan yang di rencanakan untuk mendorong seseorang berpikir cermat, untuk menguji coba diri sendiri dan untuk memperbaiki pengetahuannya. Seorang guru tidak boleh memaksakan gagasan-gagasan atau pengetahuannya kepada seorang siswa, karena seorang siswa di tuntut untuk bisa mengembangkan pemikirannya sendiri dengan berpikir secara keritis. Metode ini tidak lain di gunakan untuk meneruskan intelektualitas, mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan kekuatan mental seseorang. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang benar adalah untuk merangsang penalaran yang cermat dan di siplin mental yang akan menghasilkan perkembangan intelektual yang terus menerus dan sestandar moral yang tinggi ( Smith. 1986:25 ).
3.      Pemikiran filsafat pendidikan menurut Plato ( 427-347 SM )
Plato dilahirkan dalam keluraga aristrokrasi di Athena, serikat 427 SM. Ayahnya Ariston, adalah keturunan dari raja pertama Athena yang pernah berkuasa pada abad ke-7 SM. Semnentara ibunya, periction adalah keturunan keluarga solon, seorang pembuat undang-undang, penyair, memimpin militer dari kaum ningrat dan pendiri demokrasi Athena termuka ( smith, 1986:29). Menurut plato, pendidikan itu sangat perlu, baik bagi dirinya selaku individu maupun sebagai warga Negara. Negara wajib memberi pendidikan kepada setiap warga negaranya. Namun demikian, setiap peserta didik harus diberi kebebasan untuk mengikuti ilmu sesuai bakat, minat, dan kemampuan masing-masing jenjang usianya. Sehingga pendidikan itu sediri memberikan dampak dan perubahan bagi kehidupan pribadi, bangsa, dan Negara. Menurut plato, idealnya dalam sebuah Negara pendidikan memperoleh tempat yang paling utama dan mendapatkan perhatian yang yang sangat mulia, maka ia harus di selenggarakan oleh Negara. Karena pendidikan itu sebenarnya merupakan suatu tidakan pembebasan dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Dengan pendidikan, orang-orang akan mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan pendidikan pula, orang-orang akan mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang patut dan apa yang tidak patut ( Raper, 1988:110 ). 
4.      Pemikiran filsafat pendidikan menurut Aristoteles (367-345 SM )

Aristoteles adalah murid plato. Dia adalah seorang cendikiawan dan intelek terkemuka, mungkin sepanjang masa. Umat manusia telah berutang budi padanya oleh karena banyaknya kemajuan pemikiranya dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, khususnya logika, politik, etika, biologi, dan psikologi. Aristoteles lahir tahun 394 SM, di Stagira, sebuah kota kecil di semenanjung Chalcidice di sebelah barat laut Egea. Ayahnya, Nichomachus adalah dokter perawat Amyntas II, raja Macedonia, dan ibunya, phaesta mempunyai nenek moyang terkemuka. Menurut Aristoteles, agar orang bisa hidup baik maka ia harus mendapatkan pendidikan. Pendidikan bukanlah soal akal semata-mata, melainkan soal memberi bingbingan kepada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, yaitu akal, guna mengatur nafsu-nafsu. Akal sendiri tidak berdaya, sehingga ia memerlukan dukungan perasaan yang lebih tinggi agar di arahkan secara benar. Aristoteles mengemukakan bahwa pendidikan yang baik itu yang mempunyai tujuan tujuan untuk kebahagiaan. Kebahagiaan tertinggi adalah hidup spekulatif ( Barnadib. 1994:72).

Comments

Popular Posts