FORT ROTTERDAM,
FORT ROTTERDAM
Fort
Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng
peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai
sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng
ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng
Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar
tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin
konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari
Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk
seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya
sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di
laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di
lautan.Berikut gambar benteng sebelum direnofasi:
Kompleks Fort Rotterdam, Juli 2008
Nama
asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar
menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas
pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani
perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk
menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng
ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis
Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah
kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai
pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di
kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya
terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan
daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung
benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.
A. BADIK
Badik
atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat
Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda, dengan panjang
mencapai sekitar setengah meter. Seperti keris, bentuknya asimetris dan
bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris,
badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Menurut
pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti
(gaib). Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan
pemiliknya. Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu
menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun
kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan bagi yang menyimpannya.
Sejak
ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk
membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok
etnis atau kebudayaan. Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja,
tetapi juga terdapat di daerah Bugis dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.
Secara
umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi),
serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu,
terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.
Badik
memiliki bentuk yang berbeda-beda tergantung dari daerah badik itu berasal.
Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan
tajam serta cappa’ (ujung) yang runcing, sementara Badik Bugis Kawali Bone
memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak melebar
pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk
lurus.
1. Badik Makassar
Badik
Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam
serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut
Badik Sari. Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale
(tubuh badik) dan banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di
daerah ini badik disebut dengan kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali
Rangkong (Luwu).
2. Badik Bugis Luwu
Badik
Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan
bentuk agak melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi
pipih dan berbentuk lurus. Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu
(hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). Seperti pada senjata tradisional
lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik itu yang dapat
membawa keberuntungan ataupun kesialan.
Kawali
Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan
dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya.
Sedangkan, kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam
posisi tungku dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak
akan kekurangan makanan dan tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya,
badik ini paling cocok digunakan bagi mereka yang berusaha di sektor pertanian.
Comments
Post a Comment