Contoh Makalah, NASIKH MANSUKH DALAM AL-QURAN,
NASIKH
MANSUKH DALAM AL-QURAN
I.
PENDAHULUAN
Salah satu
tema Ulumul Qur’an yang mengundang pendapat para Ulama mengenai nasikh wal
mansukh. Perbedaan pendapat Ulama’ dalam menetapkan ada atau tidaknya ayat-ayat
mansukh (dihapus) dalam Al-Qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang
tampak kontra diksi bila dililhat dari lahirnya. Sebagian Ulama’ berpendapat
bahwa ayat-ayat tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan, dan ada juga yang
keseluruhan ayatnya bisa dikompromikan.Oleh karena itu, para Ulama’ menerima
teori nasikh (penghapusan) dalam Al-Qur’an.
Ulama-ulama
klasik yang menerima penghapusan dalam Al-Qur’an ternyata tidak sepakat dalam
menentukan mana ayat yang menghapus (nasikh) dan mana yang ayat yang dihapus
(mansukh). Dikalangan Ulama’ klasik terdapa tkecenderungan bahwa untuk menekan
jumlah ayat yang dihapus hingga mencapai bilangan yang fantastis.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apakah pengertian Nasikh wal Mansukh ?
B. Bagaimana Dasar-dasar penetapan Nasikh wal Mansukh ?
C. Apa saja Rukun dan Syarat Nasikh?
D. Bentuk-bentuk dan Macam-macam Naskh
dalam Al-Qur’an
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa ialah hukum
syara’ yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau juga yang
mengutip serta mengubah dan mengganti. Adapun makna Nasikh menurut para Ulama’
secara bahasa ada empat (4) yaitu :[1][1]
1. Izalah (menghilangkan), seperti
dalam ayat berikut :
وما ار سلنا من قبلك من رسول ولا نبي ا لا اذاتمنى
القى الشيطن في امنيته فينسخ الله ما يلقي
الشيطن ثم يحكم الله ايته والله عليم حكيم
( الحج : )
Artinya :
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun,
melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan
oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui
Lagi Maha Bijaksna.”(Qs.Al-hajj : 52)
2. Tabdil (penggantian),
sepertidalamayatberikut :
واذا بد لنا اية مكان اية والله اعلم بما ينزل
قالوا انما انت مفةر بل اكثرهم لايعلمون .
( النحل : )
Artinya :
“Dan Apabila kami letakkan suatu ayat
ditempat ayat lain sebagai penggantinya padahal Allah
lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu
adalah orang yang mengada-adakan saja’. Bahkan,
kebanyakan mereka tiada mengetahui.”(QS. An-Nahl: 101)
3. Tahwil (memalingkan), seperti
tanasukh Al-mawarist, artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang
lain.
4. Naql (memindahkan dari satu tempat
ketempat yang lain), seperti nasakhtu Al-Kitaaba, yakni mengutip atau
memindahkan isi kitab tersebut berikut lafazh dan tulisannya. Sebagian ulama’
menolak makna keempat ini, dengan alasan bahwa sinasikh tidak dapat
mendatangkan lafazh yang di-mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafazh lain.
Adapun dari segi terminologi, para ulama’ mendefinisikan
naskh dengan, para ulama’ mendefinisikan naskh dengan “raf’u Al-hukm Al-syar’I
“(menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Terminologi
menghapuskan dalam definisi tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang
dihapus dari seorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu
sendiri.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di
hapus atau dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan
menurut istilah para ulama’ ialah hukum
syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang sama, yang belum diubah dengan di
batalkan dan diganti dengan hukum syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansuhk itu adalah berupa ketentuan hukum
syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan
situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
B.
Dasar-
DasarPenetapanNasikhdanMansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga
dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh
(dihapus). Ketiga dasar adalah:
1. Melalui pentransmisian yang jelas
(An-naql Al-sharih ) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti hadis:
Artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang
berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat
ini nasikh dan ayat itu mansukh
3. Melalui studi sejarah, mana ayat
yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun,
sehingga disebut mansukh Al-Qaththan menambahkan bahwa nasikh tidak bisa
ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya
kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
C.
Rukun dan Syarat Nasikh
Rukun Nasikh sebagai berikut:
1. Adat nasikh adalah pernyataan yang
menunjukkan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang
menghapus hukum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah,
karena Dialah yang membuat hukum dan Diapulalah yang menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang
dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh’anh, yaitu orang yang
dibebani hukum.
Adapun syarat-syarat nasikh adalah:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’
2. Pembatalan itu datangnya dari
tuntutan syara’
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan
oleh berakahirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang
kewajiban berpuasa tidak berarti di nasikh setelah selesai melaksanakan puasa
tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung nasikh
harus datang kemudian.
D.
Bentuk-Bentuk
dan Macam-Macam Naskh dalam AL-Qur’an
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya,
naskh dalam Al-Qur’an dibai menjadi empat macam yaitu:
1.
Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang
terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat
65 surat Al-Anfal(8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang
kafir :
يا يها النبي حرض المؤمنين
على القتال ان يكن منكم عشرون صا برون
يخلبوا مائتين وان يكن منكم مائة يخلبوا
الفا من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهون . (الانفال : )
Artinya :
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang
mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti
mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang
(yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab
oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh
oleh ayat yang mengharuskan satu orang
mukmin melawan dua orang
kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama :
الئن خفف الله عنكم وعلم ان
فيكم ضعفا فا ن يكن منكم ما ئة صا برة
يغلبوا ما ئتين وان يكن منكم الف
يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين . ( الانفال : )
Artinya :
“ Sekarang
Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan.
Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2.
Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan
dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama,
serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus
ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi
orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2):
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت
ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف
حقاعلى المتقين . ( البقرة : )
Artinya :
“ Diwajibkan atas kamu, apabila
seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara
ma’ruf.“
Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang
mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
3.
Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
Contohnya, ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh
oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4.
Naskh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku pada semua
individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu,atau menghapus
hukum yang bersifat muthlaq dengan ukum
yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang
wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan
li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang
tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya,
mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu:[2][2]
1.
Penghapusan
terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan.
Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.
كان فيما أنزل من القران عشر
رضعات معلومات فتو فيرسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya :
“ Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat
Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian
di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat,
hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an. “
2.
Penghapusan
terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang
mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 )
يايهاالذين امنوا اذا ناجيتم
الرسول فقد موابين يدي نجوكم صدقة ذ لك
خيرلكمواطهر فان لم تجدوا فان الله
غفوررحيم . ( المجادلة : )
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan
sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan)
maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang “ ( QS.Mujadilah :
12 )
Ayat ini di
Naskh oleh surat yang sama ayat 13 :
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدي
نجو كم صدقت فاذلمتفعلواوتاب الله عليكم
فاقيمواالصلوة واتواالزكوة واطيعواالله ورسوله
والله خبيربما تعملون .
( المجادلة :
)
Artinya :
“ Apakah kamu takut akan (menjadi
miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka
jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka
dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ ( QS.Al-Mujadilah : 13 )
3.
Penghapusan
terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini
biasanya diambil dari yat rajam. Mula-mula ayat
rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansukh
bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah :
أذازناالشيخ والشيخة
فارجموهما
Artinya :
“ Jika seorang pria tua dan wanita tua
berzina, maka rajamlah keduanya“
Cerita tentang
ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin
Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap
bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami
membaca ayat rajam :
الشيخ والشيخة فارجموهما
البتة بماقضيا من الذة .
Artinya :
“ Seorang pria tua dan seorang wanita
tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan
(zina).”
IV.
KESIMPULAN
Naskh adalah menghapus atau
menghilangkan suatu perkaradengan perkara lain didalam naskh ada dua perkara
yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara yang menghilangkan perkara
lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang dihilangkan oleh perkara lain dan
diperbolehkan menaskhkan ayat Al-qur’an dengan Al-qur’an, Al-qur’an dengan
hadist, hadist dengan hadist, dan hadist dengan Al-qur’an.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan
bermanfaat. Amin.
Nasikh
Mansukh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang masalah
Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan
utuh. Tak ada pertentangan
satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an
yufassir-u ba'dhuhu ba'dha([3][1]).
Dari segi kejelasan,
ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi
setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi
yang bisa berbahasa
Arab. Ketiga, cukup jelas bagi
ulama/para ahli, dan keempat, hanya
Allah yang mengetahui maksudnya([4][2]).
Dalam al-Qur'an
dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab([5][3]) yang sudah mempunyai kekuatan
hokum tetap.
Ketentuan-ketentuan induk itulah
yang senantiasa harus menjadi
landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan
dengan sistematisasi
interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan
antara ketentuan
undang-undang yang hendak
ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari
undang-undang tersebut
maupun undang-undang lainnya
yang sejenis, yang
harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara
satu ayat dengan
ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara,
unsur-unsur bahasa, sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum
masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya.
Itulah unsur sejarah yang
melatarbelakangi
terbentuknya suatu undang-undang,
yang biasa dikenal "interpretasi historis."
Dalam ilmu tafsir ada
yang disebut asbab
al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini
para mufassir memberi tempat
yang cukup tinggi
terhadap pengertian ayat al-Qur'an.
Dalam konteks sejarah
yang menyangkut interpretasi
itulah kita membicarakan
masalah nasikh-mansukh.
B. TOPIK
PEMBAHASAN
Dalam hal ini masalah
yang terpenting untuk kita soroti adalah masalah asas, pengertian/batasan, Perbedaan Antara
Nasakh, Takhshis Dan Bada', jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan
penggunaan dan hikmah kegunaannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASAS
Andaikan al-Qur'an
tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling bertentangan([6][4]). Ungkapan ini sangat penting dalam rangka memahami
dan menafsirkan ayat-ayat
serta ketentuan-ketentuan
yang ada dalam
al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih
dan terbagi dalam
114 kelompok surat, mengandung
berbagai jenis pembicaraan dan persoalan. Didalamnya
terkandung antara lain
nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi
luhur, perintah dan
larangan. Masalah-masalah yang disebutkan terakhir
ini, tampak jelas
dengan adanya ciri-ciri hukum
didalamnya. Semua jenis masalah ini
terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.
Dalam kaitan
itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut.
Mereka mencatat adanya pendapat yang
memandang adanya tiap
ayat atau kelompok ayat yang
berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat
lainnya dari al-Qur'an tidak
ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode
penafsiran untuk meluruskan pengertian
terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan.
Adanya gejala pertentangan (ta'arudl) yang
demikian merupakan asas metode
penafsiran dimana Nasikh-Mansukh merupakan salah satu
bagiannya([7][5]).
B.
PENGERTIAN
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi
etimologi, kata ini dipakai
untuk beberapa pengertian: pembatalan, penghapusan,
pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu
Hasyim, pengertian majazinya ialah pemindahan atau pengalihan([8][6]).
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi
pengertian terminologis. Perbedaan
terma yang ada antara ulama
mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing
dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh
sebagai dalil syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hokum yang mencabut ketentuan/hukum
yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa
pemberlakuannya, sejauh hukum
tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga
mencakup pengertian pembatasan (qaid)
bagi suatu pengertian bebas
(muthlaq). Juga dapat
mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap
suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga
pengertian pengecualian (istitsna).
Demikian pula pengertian syarat
dan sifatnya.
Sebaliknya
ulama mutaakhkhir memperciut
batasan-batasan pengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan
antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain
sebagainya, sehingga pengertian naskh
terbatas hanya untuk
ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan
hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang diberlakukan
ialah ketentuan yang ditetapkan
terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian
tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu
pengertian, dan di lain
pihak -dalam perkembangan
selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian([9][7]).
C.
PERBEDAAN ANTARA NASAKH, TAKHSHIS DAN BADA'
Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al
Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani[10][8]
dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya
pembatalan hokum dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan
bahwaal quran tidak pernah disentuh "pembatalan"[11][9]
meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
1.
Adanya pengecualian hokum yang bersifat umum oleh hokum yang sefesifik yang
datang kemudian;
2.
Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius;
3.
Adanya penetapan syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas
sebagai nasakh, sedangkan al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis.[12][10] Tampaknya
al Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran.
Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk
mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis).
Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai
"mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang
tercakup dalam lafad 'amm"[13][11]
Bertolak dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut
diatas, perbedaan prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
NASAKH
|
TAKHSHIS
|
|
|
Adapun Bada', menurut sumber-sumber kamus yang masyhur,
adalah Azh-Zhuhur ba'da al Khofa' ( menampakkan setelah bersembunyi).
Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT. Surat al Jatsiyah,45:33 :
33. dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa
yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu
memperolok-olokkannya.
Arti bada' yang lain adalah "nasy'ah ra'yin jaded
lam yaku maujud" (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak
terlintas). Definisi inipun tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat
yusuf,12:35:[14][12]
¢OèO #y0t/ Mçlm; .`ÏiB Ï0÷èt/ $tB (#ãrr&u ÏM»tFy$# ¼çm¨ZãYàfó¡us9 4Ó®Lym &ûüÏm ÇÌÎÈ
35. kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat
tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu
waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka
memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalah Yusuf; dan
orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].
Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan
yang sangat jelas antaranya dengan hakikat nasakh. Dalam bada' ,
timbulnya hokum yang baru disebabkan oleh ketidak tahuan sang pembuat hokum akan
kemungkinan humunculnya hokum baru itu. Ini tentu berbeda dengan nasakh, sebab
dalam nasakh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT.
Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum
hokum-hukum itu diturunkan kepada manusia.[15][13]
D.
JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin
kami soroti dalam
bagian ini ialah adanya
naskh antara satu
syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat
kita amati antara syari'at Nabi
Isa as. dengan syari'at hukum agama Yahudi yang
lebih dahulu ada.
Dalam hubungan ini,
dapat kita katakan bilamana
kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan sendirinya
kita mengaku adanya
naskh, karena
syari'at-syari'at sebelumnya tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya
pun tidak akan kita
berlakukan, sepanjang tidak
dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.
Jadi, adanya nasikh-mansukh
antar syari'at itu
merupakan salah satu jenis naskh. Hal semacam ini jika
ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya
pengertian suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara lainnya. Contohnya, adanya
pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini
soal kedaulatan, hokum dasar dan
hukum-hukum yang langsung
berhubungan dengan kedaulatan,
serta hukum-hukum lainnya semuanya
dicabut dan tidak diberlakukan
lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.
Jika kita
sudah melihat adanya
nasikh-mansukh antar
syari'at, apakah didalam
satu syari'at terjadi
juga nasikh-mansukh antara hukum
yang satu dengan hukum yang lainnya? Jika kita kembali
pada syari'at Islam sendiri, kita akan
menemui beberapa kasus yang dapat memberikan jawaban atas
masalah ini.
1. Sesudah hijrah ke
Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam
bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah
Bait al-Haram([16][14]).
Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hokum kiblat. Kasus lain misalnya
dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at.
Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.
2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut
bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat beberapa
kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang
('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun([17][15]).
Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya
4 bulan 10 hari([18][16]).
Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum
pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.
Dari seluruh
kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang terbukti
adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam.
Beberapa ketentuan hukum yang
sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan
diganti dengan ketentuan hukum lain.
Hal seperti ini, jika
dilihat dari sudut
pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Bahwa
suatu undang-undang atau peraturan
hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian
diganti dengan menetapkan undang-undang
atau peraturan lain.
Persoalan lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini
ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh
antara satu ayat yang memuat ketentuan hokum dalam al-Qur'an dengan lain ayat
yang juga memuat ketentuan hukum
dalam soal yang
sama, adalah satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.
Demikian pula adanya
nasikh-mansukh antara satu hadits
yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal
yang tidak diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh
antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain
hadits yang juga memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama,
merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.
Masalah yang menimbulkan
perbedaan pendapat diantara
para ulama ialah adanya
nasikh-mansukh silang antara
al-Qur'an dengan
Hadits/Sunnah. Jika disimak
alasan masing-masing pihak, mungkin dapat
ditarik satu garis
bahwa faktor utama terjadinya perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing
tentang kedudukan hirarki
al-Qur'an dan Sunnah
dalam syari'at itu sendiri.
Dalam kaitan hirarki
al-Qur'an dan Sunnah,
ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya harus sama tingkatnya dan sama nilai dan
sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan
pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan
hukum tidak dapat dicabut dengan
peraturan hokum lainnya yang
lebih rendah tingkatannya.
Demikian pula lembaga
yang mengeluarkan peraturan hukum
menjadi factor pertimbangan. Berdasarkan
pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah Rasulullah
saw wafat maka tidak
ada lagi nasikh-mansukh yang
mungkin terjadi pada syari'at.
Jenis nasikh-mansukh
yang diuraikan diatas, menyangkut segi
formalnya. Jenis lain yang menyangkut
segi materialnya, ada yang bersifat
eksklusif (sharih) dan
inklusif (dlimni). Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung
menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum
kiblat. Ketentuan yang
nasikh (pengganti)
ditetapkan secara jelas([19][17]). Ini
contoh dari al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya hokum ziarah
kubur. Didalam hadits
disebutkan, "Pernah aku melarang
kalian melakukan ziarah
kubur. Sekarang
lakukanlah!"([20][18]). Berbeda
dengan hal tersebut diatas, nasikh yang
bersifat dlimni tidak
memuat penegasan didalamnya bahwa
ketentuan yang mendahuluinya
tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang
mendahuluinya. Jenis seperti
inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.
E.
KEDUDUKAN NASKH
Masalah naskh
bukanlah sesuatu yang
berdiri sendiri. Ia merupakan
bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul
Fiqh. Karena itu
masalah naskh merupakan techniseterm dengan
batasan pengertian yang
baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh: apakah ia berfungsi
mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)([21][19]).
Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan
dengan hal-hal yang menyangkut
jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau dari
segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila
ditinjau dari segi materinya,
maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski demikian, pada
akhirnya dapat dilihat adanya suatu
fungsi pokok bahwa naskh merupakan
salah satu interpretasi hukum.
F. HIRARKI PENGGUNAAN NASKH
Yang menjadi
persoalan sekarang, apakah
naskh menempati urutan
pertama dalam interpretasi
hukum-syari'at? Dalam upaya
melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at, baik al-Qur'an
maupun Hadits setiap
ketentuan hukum itu harus
jelas. Pengertiannya tidak
boleh meragukan, supaya kepastian
hukumnya terjamin. Semua
segi yang dapat memperjelas kondisi sesungguhnya,
maksud ketentuan hukum itu harus
disoroti dan didalami.
Misalnya, tentang segi bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara
ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain. Dalam
hal ini harus ada upaya
mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam') atau memperkuat salah satu
diantaranya (tarjih). Baik upaya
jam' maupun tarjih
sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam disiplin ilmu Usul
Fiqh.
Jika tingkat
interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi antara
dua ketentuan hukum
itu juga sudah teratasi, maka pada tingkat inilah
dipersoalkan kemungkinan adanya nasikh-mansukh antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya
terletak pada soal historis yang
menyangkut kedua ketentuan hukum
tersebut. Faktor asbab al-nuzul
bagi ayat dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap
masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi([22][20]).
G. KAWASAN
PENGGUNAAN NASKH
Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh
mana jangkauan naskh itu?
Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya
terjangkau naskh? Dalam hal ini
Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban tugas
keagamaan) sebagai suatu
kebulatan tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya,
Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya
menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena
mustahil Allah berdusta([23][21]). Sejalan
dengan ini Imam Thabari
mempertegas, nasikh-mansukh yang
terjadi antara ayat-ayat
al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram,
atau sebaliknya, itu semua
hanya menyangkut perintah
dan larangan, sedangkan dalam
berita tidak terjadi nasikh-mansukh.
Ungkapan ini
cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah semata-mata
soal hukum, yang
hanya menyangkut perintah dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok
hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas,
di bidang ilmu
Hukum dapat kita lihat
gambarnya pada Hukum
Dasar, misalnya Undangundang Dasar
Negara yang tidak
dapat dijangkau pencabutan. Adanya
pencabutan terhadap sesuatu peraturan hukum dan penetapan peraturan
lain untuk menggantikannya hanya berlaku
pada undang-undang organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan
naskh. Dengan demikian,
dengan mudah kita dapat mengenal
beberapa persyaratan, yaitu:
1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam
formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk
seterusnya atau selama-lamanya.
2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan
universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan
untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.
3. Ketentuan hukum yang mencabut (Nasikh) ditetapkan
kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan
ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.
4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.
H. HIKMAH ADANYA NASKH
Adanya
nasikh-mansukh tidak dapat
dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an
itu sendiri dan
tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab
Suci al-Qur'an tidak
terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal
ini memang dipertanyakan orang ketika itu,
lalu Qur'an sendiri menjawab,
pentahapan itu untuk
pemantapan,([24][22])
khususnya di bidang hukum. Dalam
hal ini Syekh
al-Qasimi berkata,
sesungguhnya al-Khalik Yang
Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23
tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai
kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti
Allah dengan yang lain, sehingga bersifat
universal. Demikianlah
Sunnah al-Khaliq diberlakukan
terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan
sama.
Jika engkau
melayangkan pandanganmu ke alam
yang hidup ini,
engkau pasti akan mengetahui
bahwa naskh (penghapusan) adalah
undang-undang alami yang lazim,
baik dalam bidang
material maupun spiritual,
seperti proses kejadian manusia dari
unsur-unsur sperma dan telur
kemudian menjadi janin,
lalu berubah menjadi anak,
kemudian tumbuh menjadi
remaja, dewasa, kemudian orang
tua dan seterusnya.
Setiap
proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam ini
selalu berjalan proses tersebut
secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi
diingkari terjadinya, mengapa kita
mempersoalkan adanya penghapusan dan proses pengembangan serta
tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi?
Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana
langsung membenahi bangsa
Arab yang masih dalam
proses permulaan itu, dengan
beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai
kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran
seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin hal semacam itu akan
dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan
hukum, memberikan beban
kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan
beban yang tidak akan bisa dilakukan
melainkan oleh suatu bangsa
yang telah menaiki
jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang lebih baik, apakah
syari'at kita yang menurut sunnah Allah
ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian di-nasakh-kan karena
dipandang perlu atau
disempurnakan hal-hal yang dipandang
tidak mampu dilaksanakan manusia dengan alasan
kemanusiaan? Ataukah syari'at-syari'at agama lain
yang diubah sendiri
oleh para pemimpinnya sehingga
sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?([25][23])
Syari'at Allah adalah
perwujudan dari rahmat-Nya.
Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya.
Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib
dan adil untuk mencapai
kehidupan yang aman,
sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
nasakh
dan mansukh
NASEKH DAN MANSUKH
A.NASEKH
Menurut bahasa adalah penghapusan, peniadaan, pengganti.sedangkan istilah adalah membatalkan hukum syar’I dengan dalilsyar’I yang datang kemudian.
B.SYARAT NASEKH DAN MANSUKH
a.yang dimansukhkan harus berupa hukum syar’i
b.mansukh harus berupa hukum syara’
c.hasakh dan mansukh harus terpisah
d.yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu.
e.Nasakh dan mansuh harus sama-sama kuat tingkatanya.
C.RUKUN NASAKH
Adatuh-naskhi yaitu peringatan yang menunjukkan pembatalan, berlakunya hukum yang telah ada. Nasikh(yaitu Allah).Mansukh. Mansukh anhu (yaitu orang yang dibebani oleh hukum).
D.CARA MENGETAHUI NASAKH.
a.penjelasandari dari suatu perkataan yang menunjukan adanya nasakh seperti surat Al-anfal 65-66 yang inti ayat ini ialah membatalkan kewajiban seseorang melawan sepuluh orang kafi menjadi dua orang kafi.
b.Sebab Nabi , seperti dahulu melrang ziarah qubur dan sekarang boleh.
c.Ijma’ sahabat seperti ia mengatakan ayat ini di nasakh dan ayat ini di mansukh.
E.NASAKH DALAM AL-QURAN.
Ada yang berpendapat bahwa dalam Al-Quran ada nasakh dan ada mansukh.an ada pendapat lain bahwa dalam Al-Quran tidak ada nasakh dan mansukh.
a.Alasan pendapat pertama menurut jumhur Ulama’
“ Apa-apa yang kami hapuskan dari suatu ayat atau kami lupakan maka kami datangkan yang lebuh baik dari padanya.”
b.Alasan pendapat kedua :
*Alquran sendiri tak ada ayat yang menerangkan nasakh.
*Nasakh tidak ada hikmah
PEMBAGIAN NASAKH :
Nasakh dibagi menjadi dua:
A.Nasakh Sharih.
Yaitu nasakh yang di tegaskan berakhiran hukum yang di nansakh seperti Hadist Nabi tentang ziarah qubur.
B.Nasakh Dhimi.
Yaitu nasakh yang berlawanan dan tidak mungkin di sesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Misalnya satu nasakh bersifat positif dan yang satu bersifat negative.Nasakh Dhimi ada dua yaitu:
a Naswakh kully :nasakh terhadap segala hukum yang di cakup oleh nasakh terdahulu misalnya Al-Qur’an surat Al-baqoroh ayat 240.
b. Nasakh Juz’I :mengeluarkan dari hukum nasakh terdahulu,dengan apa yang dicakup oleh nasakh yang kedua, misalnya ayat had qadzaf degan ayat li’an.
A.NASEKH
Menurut bahasa adalah penghapusan, peniadaan, pengganti.sedangkan istilah adalah membatalkan hukum syar’I dengan dalilsyar’I yang datang kemudian.
B.SYARAT NASEKH DAN MANSUKH
a.yang dimansukhkan harus berupa hukum syar’i
b.mansukh harus berupa hukum syara’
c.hasakh dan mansukh harus terpisah
d.yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu.
e.Nasakh dan mansuh harus sama-sama kuat tingkatanya.
C.RUKUN NASAKH
Adatuh-naskhi yaitu peringatan yang menunjukkan pembatalan, berlakunya hukum yang telah ada. Nasikh(yaitu Allah).Mansukh. Mansukh anhu (yaitu orang yang dibebani oleh hukum).
D.CARA MENGETAHUI NASAKH.
a.penjelasandari dari suatu perkataan yang menunjukan adanya nasakh seperti surat Al-anfal 65-66 yang inti ayat ini ialah membatalkan kewajiban seseorang melawan sepuluh orang kafi menjadi dua orang kafi.
b.Sebab Nabi , seperti dahulu melrang ziarah qubur dan sekarang boleh.
c.Ijma’ sahabat seperti ia mengatakan ayat ini di nasakh dan ayat ini di mansukh.
E.NASAKH DALAM AL-QURAN.
Ada yang berpendapat bahwa dalam Al-Quran ada nasakh dan ada mansukh.an ada pendapat lain bahwa dalam Al-Quran tidak ada nasakh dan mansukh.
a.Alasan pendapat pertama menurut jumhur Ulama’
“ Apa-apa yang kami hapuskan dari suatu ayat atau kami lupakan maka kami datangkan yang lebuh baik dari padanya.”
b.Alasan pendapat kedua :
*Alquran sendiri tak ada ayat yang menerangkan nasakh.
*Nasakh tidak ada hikmah
PEMBAGIAN NASAKH :
Nasakh dibagi menjadi dua:
A.Nasakh Sharih.
Yaitu nasakh yang di tegaskan berakhiran hukum yang di nansakh seperti Hadist Nabi tentang ziarah qubur.
B.Nasakh Dhimi.
Yaitu nasakh yang berlawanan dan tidak mungkin di sesuaikan dengan proporsinya masing-masing. Misalnya satu nasakh bersifat positif dan yang satu bersifat negative.Nasakh Dhimi ada dua yaitu:
a Naswakh kully :nasakh terhadap segala hukum yang di cakup oleh nasakh terdahulu misalnya Al-Qur’an surat Al-baqoroh ayat 240.
b. Nasakh Juz’I :mengeluarkan dari hukum nasakh terdahulu,dengan apa yang dicakup oleh nasakh yang kedua, misalnya ayat had qadzaf degan ayat li’an.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara
umum Maqasid Al- Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam
pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh
terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan
tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut
dengan nasikh mansukh.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya.
Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu
nasikh mansukh dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas berkaitan dengan nasikh mansukhadalah sebagai
berikut
A.
Pengertian nasikh dan mansukh
B.
Pendapat ulama tentang nasikh dan mansukh
C.
Pengertian takhshish
D.
Urgensi mempelajari konsep nasikh dan mansukh
BAB. II
NASIKH DAN MANSUKH
A.
PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus,
menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah (tahwil) dan
menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali
mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang
berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang
sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang).
Kedua نقل
الشيئ الى موضع.yaitu
memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan
beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang
menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum
baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ
صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ
صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12، 13]
12.
Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika
kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
13.
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya
otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT.
Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ
نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106.
Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?
[81]
Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat
Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
c. رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
شرحياعنهartinya mengangkatkan hukum syara’
dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun
Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan
disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa :
11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa
: 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي
أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً
فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً
فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11.
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu
: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272]
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki
lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi
nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273]
Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
Al-
Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180]
180.
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa.
[112]
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh
harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang
diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan
diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama
mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh
secara terminologi. Hal ini terlihat dari kontroversi yang muncul diantara
mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin
bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
- Pembatalan
hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
- Pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
- Penjelasan
susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
- Penetapan
syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau
menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa
al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara
eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a. Hukum
yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal
atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang
tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf
baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran
(Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil
Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’:
59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا [النساء/59]
59.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c.
Dalil/ayat yang di Mansukh harus
datang setelah dalil yang di hapus.
d.
Terdapat kontradiksi atau
pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa
dikompromikan
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas
pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya.
Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa
al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Terdapat keterangan yang tegas dari
Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b. Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan
ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut
dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak
ulama yang menetapkan hal tersebut.
c. Di ketahui dari salah satu dalil
nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang
Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.
B.
PENDAPAT ULAMA TENTANG NASIKH DAN MANSUKH
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah
diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh
sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan
aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena
itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam.
Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah
1. Nasakh secara akal bisa terjadi dan
secara sam’I telah terjadi. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari
kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a.
Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً
مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ
مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101]
101.
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja".
bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b.
QS. Al-Baqarah:106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ
نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106.
Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?
[81]
Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat
Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
2. Nasakh secara akal mungkin terjadi
namun secara syara’ tidak. Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani.
Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak.
Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
[فصلت/42]
42.
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut al-Asfihani, bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an
tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Sudah tentu mayoritas ulama keberatan
terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut., sebab menurut mereka ayat di atas
tidak bicara tentang pembatalan, tetapi kebatilan yang berarti lawan dari
kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkan tidak mengandung
keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena sesuatu yang dibatalkan
penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu
waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
3. Nasakh tidak mungkin terjadi baik
secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut
pandangan kaum Nasrani Nasakh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil
bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah
di FirmankanNya.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil
syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukumyang
mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah
ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakberakhirnya
masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebuttidak
dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga
mencakuppengertian pembatasan (qaid) bagi suatu
pengertian bebas(muthlaq). juga dapat mencakup
pengertian pengkhususan(makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum ('am). bahkanjuga pengertian pengecualian
(istitsna). demikian pulapengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama
mutaakhkhir memperciut batasan-batasanpengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan
antaranasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain
sebagainya,sehingga pengertian naskh terbatas hanya
untuk ketentuanhukum yang datang kemudian, untuk mencabut
atau menyatakanberakhirnya masa
pemberlakuan ketentuan hukum
yangterdahulu, sehingga ketentuan yang
diberlakukan ialahketentuan yang ditetapkan
terakhir dan menggantikanketentuan yang
mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung
lebih dari satu pengertian, dan di lain
pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu
pengertian. Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti, sejauh
mana jangkauan naskh itu? Apakah semua ketentuan hukum
didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal ini Imam
Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban
tugas keagamaan) sebagai suatu kebulatan
tidak mungkin terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni
mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan
larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil Allah
berdusta. Sejalan dengan ini Imam Thabari
mempertegas, nasikh-mansukh yang terjadi antara
ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram, atau
sebaliknya, itu semua hanya
menyangkut perintah dan larangan, sedangkan
dalam berita tidak
terjadi nasikh-mansukh.
Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir
mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang
mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah Annasikh dan Almansukh. Annaasikh
adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al Mansukh adalah ayat-ayat yang
dihapus.
Kelompok pendapat pertama dari kalangan ahli tafsir (jumhur
ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang
dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan redaksi atau
lafal ayat. Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.
Sebagai contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun
kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa…
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al Baqarah : 219)
Bagi kelompok yang meyakini ada nasikh mansukh dari segi
hukum, ayat ini dinasikh atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90. Innamal
khomru wal maisiru wal anshobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon
fajtanibuuhu…
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”
(QS Al Maidah : 90)
Begitu juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini
tadi.
Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro. hattaa ta’lamu maa
taquuluuna….
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun”.
(QS An Nisa’:43)
Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’ meyakini ada juga ayat-ayat yang
dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman bagi
pezina muhson). Di dalam surat AnNur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi
pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin
minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan pezina laki-laki cambuklah
tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi dalam hadits hukuman itu masih ada, hanya saja
redaksi ayat tentang rajam ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus dengan Azzaaniyatu
wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan kata-kata yang
umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson (yang sudah kawin) atau pezina
yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)
Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham tentang adanya
ayat nasikh dan mansukh. Contohnya imam Abu Muslim Al Isfihani. Ia
berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada nasikh dan mansukh. Apalagi
nasikh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya
bukan nasikh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sedangkan
redaksinya tetap. Jadi (misalnya) kalau kita ingin membina atau
mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij. Jadi redaksi maupun
hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus demikian. Itu merupakan
teknik atau sistim tadrij yang dipakai Al Qur’an untuk mengingatkan
manusia. . Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak dihapus, hanya itu
merupakan pengecualian atau pengkhususan …Atau itu sebenarnya merupakan suatu
teknik tadrij .
Sebagai contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras
tidak mungkin dihentikan sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi.
Istilahnya tadrij dari sedikit demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan
diajak berpikir : Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun
kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam
mengajak berpikir ini sudah diarahkan. Jadi ini obyektif: O, memang khomr itu
minuman keras ada manfaatnya, juga ada madhorotnya. O, manfaatnya memanaskan
badan, tetapi ada madhorotnya: merusak hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam
mengajak berpikir tersebut sudah diarahkan: wa itsmuhumaa
akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih besar dibandingkan
manfaatnya. Setelah itu tahap kedua: Walaa taqrobushsholaata wa
antum sukaaro hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
Ketika ayat ini turun orang masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan : jangan
menjalankan sholat ! Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas
dinyatakan keharomannya dalam Surat Al Maidah ayat 90: Innamal khomru
wal maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi
ini merupakan suatu teknik tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani
tadi bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi redaksinya.
Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai
nasikh, maka menurut al Isfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi
pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam
menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan
seperti contoh masalah khomr tadi.
Sedangkan pendapat yang keempat adalah sebagaimana pemahaman Imam
al Alusi yang meyakini bahwa ayat yang dihapus atau Nabi dilupakan itu
bukanlah ayat-ayat Qur’aniyah (Al Qur’an), melainkan ayat-ayat Qolbiyah atau
Kauniyah.
Bentuk-bentuk
nasikh dalam Al-Qur’an :
- Nasakh
syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum ang terdapat
dalam ayat terdahulu. Misalnay surat Al-Anfal :65-66, Ayat tentang perang
yang mengharuskanperbandingan antara muslim dan kafir adalah : 1:10
dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama. Sebagai
mana firman Allah yang berbunyi :
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
مِئَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا
يَفْقَهُونَ (65) الْآَنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ
ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ
يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ (66) [الأنفال/65، 66]
“Hai Nabi, kabarkanlah semangat para
mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu,
niscaa mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus
orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada
orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti
(65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui ada
kelemahan pada dirimu. maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar niscaya
mereka mengalahkan dua ratus orang dan jika ada diantaramu seribu (orang yang
sabar), niscaa mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan izin Allah. Dan
Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal : 65-66).
- Nasakh
dhimni yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa
dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian, ia
menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang wasiat kepada ahli
waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.
- Nasakh
kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang
datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalna ketentuan hukum iddah satu
tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang dinasakh dengan
iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah :
240 dinusakh oleh surat Al-Baqoroh : 234
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ
مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ [البقرة/240]
240. Dan orang-orang yang akan
meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat
untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]
234. Orang-orang yang meninggal
dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila
telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.
[147] Berhias,
atau bepergian, atau menerima pinangan.
- Nasakh
juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum
yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlak
dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas). Contohnya hukum dera 80
kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada
surat An-Nur : 4 dihapus oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali
dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [النور/4]
4. Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan
mereka Itulah orang-orang yang fasik.
[1029] Yang
dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil
balig dan muslimah.
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الصَّادِقِينَ [النور/6]
6. Dan orang-orang yang menuduh
isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
C.
PENGERTIAN TAKHSHISH
Al-Asfihani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasikh
dalam Al-Qur’an. Kalaupun di dalam Al-Qur’an itu terdapat cakupan hukum yang
bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pengkhususan
(takhshish). Dengan demikian, takhshish menurutnya dapat diartikan sebagai
“mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam
lafazh ‘amm.”
Bertolak dari pengertian nasikh dan takhshish tersebut di
atas, maka perbedaan prinsipil antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut
:
NASIKH
|
TAKHSHISH
|
|
|
a.
Tampaknya, nasakh itu seolah-olah
sama seperti takhshis, karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan
batasan waktu, sedang takhshis dengan batasan materi.
Misalnya,
dalam cdontoh penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul.
Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja,
sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut:
“kalau akan menghadapa rasul itu,
harus memberikan sedekah lebih dahulu, kecuali setelah turun ayat yang
meniadakan kewajiban itu”.
Ungkapan itu sepertinya hampir sama
dengan kalimat:
“wanita yang ditalak suaminya itu
wajib beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum
dikumpuli”. Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah,
maka ada perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang
mengakui ada dan terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan
menganggap nasakh itu sama saja dengan takhshis itu.
b.
Nasakh sama dengan takhshis dalam
hal sama sama membatasi berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus
dan mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi keumuman
jangkauan hukum syara’.
D.
URGENSI MEMPELAJARI KONSEP NASIKH MANSUKH
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat
dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an
itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang
dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri
menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, [17]
khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh
al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha
Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun
dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan
perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang
lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah
al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama. Jika
engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang
hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh
(penghapusan) adalah undang-undang alami
yang lazim, baik dalam bidang
material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari
unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin,
lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh
menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan
seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam
alam ini selalu berjalan proses tersebut secara rutin. Dan
kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari
terjadinya, mengapa kita mempersoalkan adanya
penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke
yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan penalarannya akan
berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi bangsa
Arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan
beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mencapai
kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti
ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin
hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan
hukum, memberikan beban kepada suatu bangsa yang
masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa
dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang
telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu, manakah yang
lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut sunnah
Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri, kemudian
di-nasakh-kan karena dipandang perlu atau
disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak mampu
dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah
syari'at-syari'at agama lain yang diubah sendiri
oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama
sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan dari
rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup
hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup
tertib dan adil untuk mencapai kehidupan
yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Hikmah
nasikh :
- Untuk
menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
- Selalu
menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara
dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
- Untuk
menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi
dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai
ketingkat yang sempurna.
- Untuk
menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia
mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan
membangkang.
- Untuk
menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
- Untuk
memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa
nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna
menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha pengasih lagi
maha penyayang.
BAB III
PENUTUP
Naskh adalah hal yang diperbolehkan
keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang
dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
1. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus
sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih
ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara
langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal
ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya
pada aturan Allah Ta’ala.
2. Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya
Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu
hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang
berupa perintah maupun larangan.
[1][1]QuraishShihab,
Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1992, hlm 143;Jalaludin
As-Suyuthi, Al-itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Fikr, Beirut,t.t.,Jilid
II,20;Muhammad ‘Abd Al-‘AzhimAz-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan, Dar
al-Fikr, Beirut,t.t.,Jilid II, hlm 71.
[2][2]Ash-Suyudhi, op. Cit., jilid II, hlm. 22;
Ash-Shabuni, op. Cit., hlm. 103; Al-Qhatan, op. Cit., hlm. 238-239.
Comments
Post a Comment